Cerita Most Adventure BKI (8-10 januari 2010)
Pengalengan, Kaki gunung Puntang
Kau
tahu seberapa besar keraguanku saat aku berada dijalan ini. Bayangan tentang
penolakan, tentang cibiran menari-nari dalam kepalaku. Mungkin sebagian orang
menganggap orang dijalan ini tengah sesat, atau mungkin pula sok alim, sok baik,
terlalu kolot, berlebihan, dan segala macamnya. Sungguh-sungguh cukup
menakutkan aku. Dikucilkan dari pergaulan, dideskriminasikan, dan di di lainnya
yang sering diterima kelompok minoritas.
Oh
Tuhan, sungguh tak siap rasanya. Apalagi untuk seorang ‘aku’ yang tumbuh dalam
lingkungan yang jauh dari hal-hal seperti ini. Hal ini adalah sesuatu yang
baru. Sesuatu yang baru ku kenal di usia ke-18.
Aku tak
ingin berburuk sangka terutama pada siapapun. Tapi sungguh aku khawatir Rabb. Aku
takut bila nanti aku tengah futur dan menyimpang jauh. Aku takut ditertawakan.
Aku takut dimunafikkan. Aku takut, aku takut dan malu berada dijalan ini.
Karena jalan ini adalah jalan yang sepi.
Ingin
aku berlari menjauh dan keluar dari jalan ini. Tapi aku tak bisa. Aku tak
kuasa. Karena sesungguhnya akupun begitu menyukai jalan ini walau penuh kata
‘tapi’.
Disubuh
tadi. Saat orang-orang masih terlelap tidur dan bermain dalam mimpi mereka.
Disepertiga malam yang gerimis. Di alam terbuka. Di kelilingi pinus-pinus dan
gunung yang kokoh. Bersama gemuruh air sungai dan bebatuan yang betah
didalamnya. Sekelompok pemuda termasuk aku, tengah berdiri di lapangan kecil
dikaki gunung Puntang.
Masih
sayu, kantuk bergelantungan di kelopak mata mereka, lelahpun masih bertengger
disana, ditubuh-tubuh yang bergetar kedinginan dipeluk udara gunung yang tajam
dan semakin tajam.
“Berapa
jumlah antum sekarang?” tanya seseorang yang tak terlihat dalam gelap
Sekelompok
pemuda itu hening, sepertinya mereka hanya ingin mendengar gemericik air sungai
saja. Tak satupun menjawab. Setidaknya tak ada yang terdengar dari getar pita
suara mereka, mungkin hanya dalam hati saja.
“Berapa
jumlah antum sekarang? Jawab yang tegas!” seru suara yang sama
“Tiga
puluh ribu” jawab mereka ragu
“Yang
tegas, yang kompak”
“Bagaimana
kita mau jadi penolong agama Allah jika kita tidak yakin dengan diri kita
sendiri” masih dari getar pita suara dengan pemilik yang sama
“Dalam
dakwah kita itu satu. Hanya satu. Kita itu satu tubuh. Saling berkaitan. Saat
satu bagian sakit, maka sakitlah semuanya” lanjutnya lagi
Seseorang
yang tak terlihat dalam gelap ini memang paling banyak bicara saat ini. Yang
mengambil alih acara dipagi buta. Memang tak terlihat dalam gelap, tapi aku
tahu betul siapa pemilik suara tadi. Dia adalah salah satu kader dalam
organisasi dakwah ini. Kata-katanya cukup sering membakar semangatku, dan
kadang aku gunakan untuk memotivasi diri sendiri. Sungguh, setidaknya dia
adalah salah satu dari sekian banyak orang yang memberiku motivasi.
Sebelumnya
dia sudah menanyakan apakah ada yang ingin mengundurkan diri sebelum melangkah
lebih jauh, dan semua nya masih bertahan dilapangan kecil itu. Tak tahu apakah
memang semuanya ingin berjalan dijalan ini, ataukah hanya takut saja,
wallahualam.
Kali
ini dia menyebut satu persatu nama sahabat Rasulullah. Dimulai dari Abu bakar
ash-siddiq yang mendapat gelar yang benar dan membenarkan. Sahabat paling
setia. Yang keimanannya tak ada tandingnya. Dan disebutkan pula bahwa ‘jika
iman seluruh manusia dimuka bumi diletakkan pada sebuah dacing sedangkan iman
Abu Bakar diletakkan didacing satunya, maka iman Abu bakar akan lebih berat’.
Subhanallah.
Mulai merinding aku mendengarkan hal itu. Merinding tahap pertama. Ya baru
tahap pertama karena aku tahu ada banyak hal yang akan membuatku semakin
merinding nanti.
Umar
bin khatab. Yang dengan nama nya Allah menyatakan kejayaan akan islam. Seorang
yang disegani, yang ditakuti oleh kafir quraisy, namun sangat pemalu. Dia
sangat pemalu terutama terhadap Tuhannya.
Usman
bin Affan. Seorang bangsawan sahabat Rasul yang dermawan. Saat penduduk mekah
tengan dilanda paceklik, dia memberikan 1000 ekor unta tanpa pamrih, dan
membelikan sebuah sumur untuk penduduk mekah yang tengah dilanda paceklik
tersebut.
Ali bin
Abi Thalib. Sepupu Rasulullah sekaligus menantu beliau. Seorang pemuda yang
cerdas, berilmu. Yang tak pernah absen sekalipun dalam perang jihad bersama
sang nabi.
Bilal
bin Rabaah. Seorang budak hitam legam yang sangat taat. Bahkan saat dia dijemur
diteriknya matahari gurun dan
ditindihkan sebuah batu besar ditubuhnya agar dia keluar dari islam,
imannya tetap teguh. Satu kata yang diucapkannya saat itu ‘Allahhuahad’ Allah
itu satu. Sebuah kalimat yang dahsyat. Bilal yang saat dia masih diduniapun
langkah kakinya telah terdengar disurga. Subhanallah
Muhammad
al fatih. Seorang pejuang islam, yang diumur 16 tahun sudah menjadi paglima
perang yang menaklukkan konstantinopel. Yang tak pernah bolong sholat malamnya
dari saat ia akilbaliq.
Dan
sederet nama-nama pejuang agama Allah lainnya yang masih asing ditelingaku.
Benar saja, kali ini masuk merinding tahap atas, bahkan bukan sekedar merinding
lagi, tapi mata ini sudah basah. Airnya meganak sungai dipipiku yang dingin.
Hangatnya terasa sampai kedalam hati. Inilah air mata yang peling deras, yang
pertama, yang paling tulus aku persemahkan untuk jalan ini. Dakwah
Oh
Allah. Betapa aku merugi selama ini tak sepenuhnya berkorban dijalanMU. Betapa
aku tak ada apa-apanya dibandingkan sederet nama yang keluar dari bibir
seseorang yang tak terlihat dalam gelap tadi.
Ya, aku
memang belum melakukan apa-apa. Tapi aku pasti akan melakukannya. Akan aku
lakukan untuk agama tercinta ini. Setidaknya begitulah tekad ku. tekad yang tulus dari hati yang tengah merasa
tersentuh kasih dan hidayah. Indah sekali
“sahabat,
apa yang sudah kita lakukan? Apa kita akan diam saja?”
“diam
saja melihat agama kita terinjak-injak? DIAM SAJA KETIKA AL-QURAN DILARANG
DIBACAKAN DIKAMPUS KITA SENDIRI oleh orang yang mengaku islam??” teriak suara
yang sama
Arghhhhh.. Aku lupa dialog selanjutnya, yang pasti suara yang sama itu terus memecah keheningan subuh di hutan pinus yang sepertinya sengaja tak bersuara untuk menunjukkan berapa jantung kami berdetak lebih cepat. Sepertinya kami mulai jatuh cinta, khususnya aku. Ya aku memang tengah jatuh cinta. Bukan pada siapa tapi pada apa yang kini tengah aku susuri jalannya. Semoga hingga akhir
*to be
continue*
Ngegantung
banget ga sih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar