castle

castle
every step in your life is a process of goal achievement. It's my life, it's my inspiration

Antah-berantahku

Senin, 20 Juni 2011

Feature Sejarah: Menara Loji ‘yang Merana’, Saksi Bisu Perjalanan Sejarah yang ‘terlupakan’ atau ‘sengaja dilupakan’


Mungkin tidak banyak orang tahu atau ingin mencari tahu tentang situs sejarah yang satu ini, sebuah menara yang memprihatikan. Jika kita melalui kawasan kampus Universitas Winaya Mukti (UNWIM) yang kini telah berganti kepemilikan menjadi milik Institut Teknologi Bandung (ITB) menuju ke arah Bumi Perkemahan Kiara Payung, disisi kiri jalan depan gedung PMI kita akan menemukan sebuah menara tua bercat putih yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Menara Jam atau Menara Loji.



Sebentar diamati, menara ini tidak memiliki suatu keistimewaan apapun selain sebagai seonggok bangunan tua tak terurus yang dikelilingi semak belukar. Dibagian atas menara, tanaman parasit tampak subur melambai-labai terhembus angin Manglayang, seakan menyapa dan mencoba menarik perhatian para pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya untuk memperhatikan menara tua tersebut.

Namun tahukah kalau menara ini adalah salah satu saksi bisu perjalanan sejarah kota kecil bernama Jatinangor?. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau pada zaman dahulu –tahun 1841- Jatinangor merupakan suatu kawasan perkebunan karet yang luasnya mencapai 962 hektar yang membentang dari kawasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) hingga Gunung Manglayang. Terbayangkan bagaimana luasnya?

Dari beberapa sumber, kami menemukan sebuah fakta yang menyatakan bahwa perkebunan karet yang luas ini dulunya dimiliki oleh seseorang berkebangsaan Jerman bernama Baron Baud yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Untuk mengontrol kebun yang begitu luas maka pada tahun 1800-an didirikanlah menara yang bergaya neo-gothic ini, dengan tujuan sebagai menara pengawasan dan penanda waktu kerja para penyadap karet.

Selain itu ada juga yang menyatakan bahwa menara ini memiliki fungsi lain yaitu sebagai pengontrol gelembung udara dan saluran air yang dihubungkan dari menara hingga ke Gunung Manglayang. Dugaan tersebut diperkuat dengan ditemukannya sebuah lubang tepatnya lorong gelap pada dasar menara.

“Dulu menara ini berbunyi 3 kali sehari, Pada pukul 05.00, lonceng dibunyikan, tanda bagi pekerja untuk mulai menyadap karet. Lonceng kembali berbunyi pada pukul 10.00, sudah saatnya bagi pekerja untuk mengambil mangkuk-mangkuk yang telah terisi getah karet. Terakhir, lonceng dibunyikan lagi pada pukul 14.00, yang artinya para pekerja diperbolehkan pulang” papar Rohaya, seorang wanita paruh baya yang kami temui disekitar menara yang terlihat merana itu.
“Sekarang menara Loji tidak berfungsi lagi dan diurus oleh PMI” lanjutnya sambil menunjuk kearah kantor PMI.

Menara Loji kini memang dialihkan kepengurusannya dari pihak Winaya Mukti ke Palang Merah. Pada saat pembangunan gedung PMI, agar terlihat sedikit lebih segar menara Loji juga mendapat sedikit polesan dengan pengecatan ulang dari menara putih penuh lumut menjadi menara putih dengan sedikit lumut saja. Pada bagian dasar menara ini sebenarnya terdapat satu pintu masuk kedalam menara, dan pada bagian dalamnya ada sebuah tangga menuju puncak menara dimana terdapat lonceng yang berbunyai 3 kali dalam sehari itu. Namun karena sering digunakan sebagai tempat maksiat, akhirnya atas inisiatif pengurus PMI, pintu masuk menara ditutup saat dilakukan renovasi pada desember 2009 lalu.

Perkembangan Jatinangor yang cukup pesat sebagai pusat pendidikan dengan empat pergutuan tinggi besar –IPDN, UNPAD, IKOPIN, UNWIM ‘sekarang menjadi ITB’- ternyata tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkembangan nasib menara Loji. Mengapa menara Loji kami sebut sebagai ‘Menara yang Merana’, karena sebagai saksi bisu sejarah tak seharusnya menara ini ditelantarkan oleh pemerintah daerah setempat yang memiliki tanggung jawab kepengurusan atas menara ini.

Pada saat memasuki masa kemerdekaan Indonesia, tanah perkebunan karet Jatinangor memang dinasionalisasikan, dan menjadi milik Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang. Tapi, entah karena kurangnya kesadaran akan sejarah atau karena alasan apa, Pemda tidak melakukan penjagaan yang baik terhadap situs ini. Akibatnya, pada tahun 1980, lonceng Menara Loji dicuri. Hingga kini, kasus pencurian ini belum terselesaikan, entah itu siapa pencurinya, apa motifnya dibaliknya, dan bagaimana kelanjutan kasusnya pun tidak ada yang tahu. Beruntung saat ini pihak PMI berbaik hati menawarkan diri sebagai ‘orangtua angkat’ menara Loji sehingga menara ini ada yang memperhatikan kembali.

“Sebenarnya kami punya rencana untuk membangun taman disekitar menara dan memperbaiki tangga keatas menara karena tangga tersebut sudah lapuk dan berbahaya jika digunakan. Namun, keterbatasan biaya membuat niat tersebut belum bisa direlisasikan, karena dana yang didapat dari PMI juga terbatas dan merupakan sumbangan dari para donatur.” Tutur Florentinus, staff PMI.

“Semoga saja Pemerintah Daerah bisa memberikan alokasi dana untuk pemeliharaan Menara Loji dan lebih memberikan perhatian kepada menara Loji, karena bagaimanapun juga menara ini adalah salah satu cagar budaya yang patut dijaga.” Tambahnya lagi

Menara Loji, saksi bisu perjalanan sejarah yang terlupakan atau yang sengaja dilupakan?. Kami rasa tiap orang mempunyai jawaban sendiri atas pertanyaan itu. Yang pasti semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat, pelajar dan mahasiswa harus lebih memperhatikan situs/bangunan yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Kita tidak perlu menunggu claim dari negara lain terlebih dahulu untuk memperhatikan situs-situs sejarah yang mulai terlupakan. Karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Jangan sampai Menara Loji hanya menjadi seonggok bangunan tua yang kian hari kian merana karena tidak diperhatikan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar